Selasa, 26 Januari 2010

100 Hari SBY-Budiono



Salam demokrasi



100 hari pemerintahan SBY-Budiono Tidak Berguna, Rakyat Indonesia Semakin Sengsara. 15 (lima belas) program utama yang telah ditetapkan tidak sanggup menjawab persoalan rakyat Indonesia. Tentang Upah, Tanah, Pekerjaan, Pendidikan dan Kesehatan masih tetap mengemuka dan menjadi persoalan pokok sebagian besar rakyat Indonesia.



Dalam Pandangan Front Perjuangan Rakyat (FPR), 15 rencana program prioritas SBY-Boediono dalam 100 hari pemerintahannya hanyalah program aksi untuk menjalankan hasil-hasil konsolidasi G20 yang diinisiasi oleh Amerika Serikat (AS), dengan target jangka pendek untuk mengatasi krisis yang tengah terjadi. Program tersebut juga untuk mengimplementasikan seluruh regulasi dan kebijakan yang telah dibuat selama pemerintahan periode pertama SBY (Kabinet Indonesia Bersatu jilid I).



Pemberantasan mafia hukum diseluruh lembaga negara dan penegakan supremasi hukum menempati urutan pertama dalam 15 program utama 100 hari pemerintahan SBY-Boediono. Tapi ironisnya, kasus bailout Bank Century yang merampok uang rakyat Rp 6,7 Triliyun, sampai saat ini belum terselesaikan. Pemerintahan SBY lebih memilih menyelamatkan pengusaha besar dari pada rakyat yang hidup dengan upah rendah, menganggur, terancam kehilangan tanah serta sulit mendapatkan pendidikan.


Ditengah berbagai kasus dan skandal memalukan yang belum juga mereda, SBY-Boediono dengan enaknya memberikan fasilitas mobil mewah seharga Rp 1,3 M bagi 150 pejabat tinggi. Padahal ratusan sekolah rusak dan jutaan guru di Indonesia membutuhkan bantuan nyata. (saat ini dari 2,7 juta guru di Indonesia baru 500.000 yang telah mendapatkan tunjangan). Disamping itu ketidaksanggupan DPR memanggil Presiden dalam kasus Century semakin menunjukkan bahwa peranan parlemen semakin bangkrut. Dan yang lebih memilukan, SBY sebagai pimpinan pemerintahan pura-pura tidak mengetahui dan tidak berani bertanggungjawab atas skandal Century tersebut.


Front Perjuangan Rakyat (FPR) memandang dengan terang, program 100 Hari SBY-Boediono adalah program yang sama sekali tidak membawa keuntungan apapun bagi rakyat. Sejarah telah mencatat, bahwa selama SBY berkuasa, upah buruh selalu rendah, perampasan tanah terus meluas, pengangguran terus menumpuk serta biaya sekolah, kuliah dan kesehatan semakin melonjak naik. Pendapatan dan upah seluruh rakyat telah dirampas oleh kebijakan harga pemerintahan SBY yang sangat bergantung pada imperialisme. Disisi yang lain sejarah juga mencatat, bahwa rakyat ditengah penindasan dan penghisapan yang berlangsung terus menerus, tetap senantiasa menggelorakan perjuangan sengit tanpa henti dalam merebut hak-haknya.


Berdasarkan penilaian diatas, Front Perjuangan Rakyat (FPR) telah menetapkan sikap akan terus
melakukan perlawanan terhadap rezim SBY-Boediono yang anti rakyat. Salah satu bentuk nyata perlawanan yang dilakukan oleh FPR adalah menyelenggarakan Aksi Serentak Nasional di 20 Kota dan 3 Kota di luar negeri (Hong Kong, Macau dan Taiwan), bertepatan dengan 100 hari pemerintahan SBY-Boediono pada 28 Januari 2010.


Front Perjuangan Rakyat (FPR) sebagai aliansi luas organisasi massa dari berbagai sektor dan golongan serta organisasi sosial lainnya, mengajak seluruh rakyat untuk terlibat dan ambil bagian dalam aksi nasional ini. FPR juga menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk terus bangkit, mengobarkan perjuangan massa serta memperkokoh persatuan dikalangan rakyat. Memperkuat aliansi dasar klas buruh dan kaum tani sebagai pilar tegaknya persatuan rakyat untuk membendung berbagai serangan imperialis dan kaki tangannya di dalam negeri. Negara lewat rejim SBY-Boediono telah menciptakan sebuah sistem yang menguntungkan bagi segelintir klas dan golongan di Indonesia. Hanya pengusaha besar, tuan tanah dan birokrat kapitalistik yang akan mendapatkan keuntungan. Mereka akan berbagi kekuasaan, keuntungan serta dengan kompak akan melakukan perampasan atas hak rakyat, dengan menyerahkan sepenuhnya segala sumber daya alam, sumber daya manusia Indonesia demi pengabdiannya pada imperialism.


Dalam momentum 100 hari pemerintahan SBY-Boediono saat ini, FPR menyatakan sikap: “Hentikan Perampasan Upah, Tanah dan Kerja sebagai tuntutan pokok rakyat Indonesia. FPR, berdasarkan pandangan, pendirian dan sikapnya menuntut kepada rejim SBY-Boediono untuk :


1. Menghentikan PHK dalam bentuk apapun, penuhi upah layak dan hapuskan sistem kerja kontrak serta outsourcing bagi buruh.

2. Hentikan perampasan tanah, sediakan sarana produksi murah dan tingkatkan harga hasil pertanian serta jalankan reforma agraria sejati bagi kaum tani.

3. Hapus biaya penempatan yang tinggi/overcharging, Ratifikasi Konvesi PBB tahun 1990 (tentang Perlindungan BMI dan Keluarganya), Bubarkan Terminal Khusus TKI dan Cabut UU No.39/2004 tentang PPTKILN, bentuk Undang-Undang yang berpihak kepada Buruh Migran Indonesia.

4. Memberikan jaminan sekolah gratis, kuliah murah (turunkan SPP, hapus biaya masuk kuliah dan tingkatkan fasilitas), Cabut UU BHP, Realisasikan anggaran 20% APBN dan APBD untuk pendidikan bagi pelajar dan mahasiswa.

5. Usut tuntas berbagai kasus korupsi dan perampokan uang rakyat.

6. Penuhi pelayanan dan fasilitas kesehatan reproduksi bagi perempun/keluarga miskin.

7. Buka lapangan pekerjaan seluas-luasnya dan jamin kebebasan berekspresi dan berorganisasi bagi seluruh rakyat.

8. Menolak segala bentuk kerjasama yang timpang dengan negara-negara imperialis dan menuntut pemerintah Indonesia untuk keluar dari Perjanjian Perdagangan Bebas baik bilateral seperti JIEPA (dengan Jepang) dan Korea Selatan, regional (ASEAN dengan Australia-Selandia Baru, ASEAN dengan India, dan terakhir ASEAN dengan China/CAFTA).

Demikian siaran pers ini kami sampaikan, atas parhatiannya kami mengucapkan terima kasih.


Jakarta, 26 Januari 2010
FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR)

RUDI HB DAMAN
Koordinator

Sumber: FPR

Senin, 18 Januari 2010

thank god..

Sebuah penciptaan adalah sempurna bila kiata mampu mensyukurinya.Tiada hal yang paling indah bila kita tak mampu mensyukurinya.thks god.. karna Enkau aq bisa seperti ini..

Selasa, 15 Desember 2009

GERAKAN RAKYAT MENUNTUT UPAH, TANAH, KERJA DAN PENDIDIKAN

SBY-BOEDIONO REZIM PELANGGAR HAM DAN PERAMPOK UANG RAKYAT!
PENUHI HAK-HAK DASAR RAKYAT!



*Hentikan Perampasan Upah, Kerja, Tanah dan Pendidikan Rakyat*

*Tolak Komoditisasi BMI !!*

*Cabut UU 39 tahun 2004 !!*

*Segera Ratifikasi Konvensi PBB No. 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran!!

Salam Demokrasi Sejati!!

Setiap tanggal 18 Desember rakyat di seluruh Dunia memperingati International Migran Day (Hari Migran Internasional) tak terkecuali kita di Indonesia. Apalagi peringatan Internation Migran Day saat ini sangat memiliki keistimewaan yaitu berada dalam situasi krisis ekonomi dan finansial global yang kian memburuk dan paling buruk sepanjang sejarah peradaban manusia, yang berdampak pada semakin hebatnya penindasan dan penghisapan, baik yang dilakukan di negeri-negeri penerima melalui politik kontrol perbatasan, xenophobia, dan eksploitasi kerja dengan upah murah, maupun di negeri-negeri pengirim melalui kebijakan pengiriman "satu-pintu"

Dan berbagai bentuk kebijakan yang penindasan serta menciptakan migrasi yang tidak aman bagi kaum migran, khususnya buruh migran dan pengungsi sebagai komponen migran terbesar di seluruh dunia, hal ini sangat di rasakan langsung oleh kalangan buruh Migrant/TKI, *dimana TKI di jadikan tumbal atas krisis global ini*.

Bagaimana Kita membawa Etika dalam Kehidupan menuju Kebahagiaan

FILSAFAT MORAL ARISTO
Aristoteles (384-322 SM) adalah murid terkemuka Plato (427-348 SM), seorang tokoh pemikir idealis. Meski demikian, ia tidak sependapat dengan gurunya yang menyatakan bahwa manusia telah mengenal idea Yang Baik dan bahwa hidup yang baik bisa tercapai dengan kontemplasi dengan idea Yang Baik tersebut. Menurut Aristoteles, kehidupan yang baik justru harus dicari dan bertolak dari realitas manusia sendiri. Dari realitas inderawi kongkret inilah akal budi manusia mengabstraksikan apa yang disebut kebaikan.

Berangkat dari pendekatan --yang serba-- empiris yang digunakan Aristoteles ini, kita akan mencoba membahas konsep-konsepnya tentang moral.

Teleologis:

Pembahasan etika biasanya dibedakan antara etika deontologis dan teleologis. Deontologis menyatakan bahwa kualitas etis tindakan tidak berhubungan dengan akibat tindakan, tetapi bertumpu pada tindakan itu sendiri, benar atau salah. Misalnya, bahwa dusta adalah tidak benar secara etis, entah baik atau buruk akibatnya. Sebaliknya, teleologis menyatakan bahwa tindakan bersifat netral; baru dinilai benar atau salah setelah melihat akibat atau tujuannya. Sebuah tindakan dinilai benar jika akibatnya baik, salah jika akibatnya tidak baik.

Etika Aristoteles termasuk teleologis, karena ia mengkaitkan tindakan dengan dampak atau tujuan tertentu; kebahagiaan. Tindakan dinilai baik sejauh mengarah pada kebahagiaan dan salah jika mencegah kebahagiaan. Kebahagiaan siapa? Kebahagiaan si pelaku. Karena itu, etika Aristoteles tidak Universalistik, tetapi bisa dikata egoistik, karena lebih menekankan dampak bagi pelaku, bukan dampaknya pada orang umumnya.

Eidomonia Sebagai Ukuran Baik Buruk:

Eidemonia atau kebahagiaan adalah tujuan sekaligus penentu baik buruknya tindakan dalam etika Aristoteles.
Menurutnya, sesuatu dinilai baik jika tujuannya mengarah pada pencapaian kebahagiaan, dan dinilai buruk jika tidak diarahkan kepada kebahagiaan

Persoalannya, apa yang dimaksud sebagai bahagia dalam pandangan Aristoteles? Apa unsur-unsurnya? Bagaimana cara mencapainya?

Sebelum mendiskusikan masalah kebahagiaan dalam perspektif Aristoteles, ada baiknya kita lihat konsep kebahagiaan dalam perspektif tokoh-tokoh lain. Menurut Epicuras, kebahagiaan adalah kenikmatan. Seseorang akan bahagia jika merasa nikmat, dan apa yang dimaksud nikmat di sini adalah adanya ketentraman jiwa yang tidak dikejutkan dan tidak dibingungkan oleh sesuatu dengan cara menghindarkan diri dari sesuatu yang tidak mengenakkan. Jelasnya, bahagia dalam pandangan Epicuras adalah bebas dari rasa sakit dan penderitaan.Pengertian yang hampir senada juga diberikan John Stuart Mill. Menurut Mill, kebahagiaan adalah kesenangan (pleasure) dan bebas dari perasaan sakit (pain) sedang ketidakbahagiaan berarti adanya perasaan sakit (pain) dan tidak adanya kesenangan

Sementara itu, menurut Agustinus, kebahagiaan adalah menyatunya rasa cinta kasih manusia dalam Tuhan. Dalam pandangan Agustinus, tujuan hidup manusia adalah persatuan diri dengan Tuhan.Sedang dalam pandangan Stoa, kebahagiaan adalah kemampuan diri untuk menahan dorongan nafsu (self sufficiency) dengan cara menyatukan diri dan tunduk pada hukum alam. Jelasnya, kebahagian Stoa terletak pada kemampuan seseorang untuk --meminjam istilah Jawa-- “menerima ing pandum”. Menerima apa yang menjadi bagiannya.

Bagaimana konsep kebahagiaan Aristoteles? Menurut Aristoteles, kebahagiaan manusia terdapat pada aktivitas yang khusus dan mengarah pada kesempurnaanya. Apa aktivitas khusus pada manusia yang mengarah pada kesempurnaanya? Menurut Aristoteles, potensi khas manusia yang membedakan dari binatang atau makhluk lain adalah akal budi dan spiritualitasnya. Tidak ada satupun mahluk hidup selain manusia yang mempunyai potensi ini. Karena itu, aktivitas dan aktualitas manusia yang bisa mengarahkan pada kebahagiaan adalah semua bentuk aktivitas yang melibatkan bagian jiwa yang berakal budi. Namun, karena manusia hidup dalam alam dunia dan masyarakat, maka aktualisasi dari akal budi tersebut bukan semata-mata diarahkan pada Yang Maha Budi dan Idea, tetapi juga diarahkan pada kehidupan konkrit melalui partisipasi dalam kehidupan masyarakat. Tegasnya, kebahagiaan tercapai dengan cara memaksimalkan potensi diri untuk memandang realitas ruhani di satu sisi, dan aktif dalam berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat disisi yang lain.Ini sama yang dirumuskan Erich Fromm, bahwa kebahagiaan tidak terletak atas apa yang kita miliki (having) tapi lebih pada kemampuan aktualisasi diri (being). Yaitu, kemampuan menyatakan dan menjadikan potensi-potensi yang dimiliki atau “mimpi-mimpi” menjadi kenyataan.

Dengan demikian, jika kebahagiaan Epicuras dan John S. Mill terletak pada kemampuan lari dari rasa sakit, kebahagiaan Agustinus terjadi dalam Tuhan dan Stoa dalam alam, kebahagiaan Aristoteles terletak pada diri manusia sendiri, pada aktivitasnya untuk mengembangkan potensi-potensi hakikinya untuk menjadi sempurna.

Namun demikian, aktivitas menuju kebahagiaan ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Menurut Aristoteles, aktivitas yang menyebabkan kebahagiaan harus dijalankan menurut asas “keutamaan”. Hanya aktivitas yang disertai  keutamaan yang dapat membuat manusia bahagia. Di samping itu, aktivitas tersebut mesti dilakukan secara stabil,dalam jangka waktu yang panjang, bukan hanya sporadis. Jelasnya, dilakukan secara istiqamah.

Aktualisasi Diri Sebagai Kebahagiaan:

Bagaimana aktualisasi diri bisa dinilai sebagai kebahagiaan? Dalam pandangan Aristoteles, aktualisasi diri yang dinilai sebagai kebahagiaan adalah aktualisasi yang mengakibatkan kesempurnaan pada yang bersangkutan. Kesempurnaan mata adalah melihat, kesempurnaan makhluk hidup adalah mengembangkan psikhisnya, dan kesempurnaan manusia adalah aktualisasi dari kemungkinan tertinggi yang hanya terdapat pada manusia; akal budi dan ruhaninya. Dengan demikian, kebahagiaan manusia sama dengan menjalankan aktivitas yang spesifik baginya, yaitu mengembangkan pemikiran dan spiritualitas. Bagi manusia, kebahagiaan adalah memandang kebanaran.

Akan tetapi, kebenaran yang harus dipandang tersebut tidak hanya yang ada pada alam Idea sebagaimana dikatakan Plato. Benar bahwa manusia mengandung dimensi-dimensi ruhani dari alam transendent, tetapi ia juga mengandung wadag yang inderawi; begitu pula, ia bukan pula wadag tetapi juga mengandung nilai ruhani. Manusia adalah paduan dimensi ruhani dan duniawi. Karena itu, kebahagiaan manusia hanya bisa dicapai dengan cara bertindak (aktif) mengaktualisasikan potensi atau nilai-nilai luhur manusia yang berasal alam transendent dalam kehidupan nyata, riil.

Mengapa harus aktif? Menurut Aristoteles, manusia menjadi bahagia bukan dengan cara pasif menikmati sesuatu, atau bahwa segala yang diinginkan tersedia, melainkan dengan cara aktif. Dengan bertindak ia menjadi nyata. Hanya dengan perbuatan manusia menyatakan diri, ia menjadi riel. Sesuatu yang hidup bermutu tidak tercapai melalui nikmat pasif, melainkan melalui hidup yang aktif. Manusia bahagia dalam merealisasikan atau mengembangkan potensi-potensi dirinya.

Selain itu, aktualisasi aktif dalam merealisasikan dan mengembangkan potensi khas manusia tersebut harus dilakukan menurut aturan keutamaan.Hanya aktivitas yang disertai keutamaan (aretĂȘ) yang membuat manusia menjadi bahagia. Dan yang penting, tindakan maksimal atas potensi-potensi diri tersebut tidak terjadi secara sporadis atau berkala, tetapi terjadi dalam jangka waktu yang lama. Jelasnya, dilakukan secara istiqamah, langgeng.

Dengan demikian jelas bahwa kebahagiaan yang dalam etika Aristoteles digunakan sebagai tolok ukur baik buruknya sebuah tindakan terletak pada kemampuan yang bersangkutan dalam mengaktualisasikan potensi-potensi khas dirinya. Semakin seseorang mampu mengaktualisasikan potensi khasnya, yang tentu disertai keutamaan, maka semakin dinilai baiklah tindakannya, karena itu berarti semakin mengarah kepada kebahagiaan

Keutamaan:

Aristoteles melukiskan keutamaan moral sebagai suatu sikap watak yang memungkinkan manusia untuk memilih jalan tengah antara dua kutub ekstrem yang berlawanan.Sebagai contoh, dalam belanja, pengeluaran terlalu banyak disebut boros, terlalu hemat disebut kikir. Diantara dua kutub ini, keutamaan adalah mengambil jalan tengah; tidak boros juga tidak kikir yang disebut “murah hati”.

Yang perlu dicatat, bagi Aristoteles, keutamaan baru menjelma sebagai keutamaan yang sungguh-sungguh setelah yang bersangkutan mempunyai sikap tetap dalam menempuh jalan tengah tersebut. Bukan sekedar terjadi dalam beberapa kasus. Juga bahwa jalan tengah tidak dapat ditentukan dengan cara yang sama untuk semua orang. Artinya, apa yang dimaksud jalan tengah ini sangat subjektif, bukan objektif.

Jika subjektif, bagaimana keutamaan bisa tentukan? Adakah norma-norma untuk itu? Menurut Aristoteles, rasio menetapkan pertengahan (keutamaan) tersebut dan harus menentukannya sebagaimana orang yang bijakasana dalam bidang praktis menentukan keutamaan. Aristoteles menganggap bahwa keutamaan bukan persoalan theori, tapi praktek. Seorang sarjana yang mengerti theori moral belum tentu bisa berlaku sesuai keutamaan moral,tapi orang yang mempunyai kebijaksanaan praktis (phronesis) mampu menentukan masalah ini, berdasarkan pertimbangan konkrit.

Phronesis (Kebijaksanaan Praktis):

Aristoteles --sebagaimana yang disinggung-- memisahkan praxis dari theori, meski menggunakan keduanya dalam menggapai kebahagiaan. Menurut Aristoteles, theori diarahkan pada  realitas yang tidak berubah (idea),  sedang praxis bergerak dalam alam manusia yang berubah yang mana manusia sendiri mempunyai  kebebasan untuk memilih mana yang diambil. Nah, kemampuan bertindak tepat berdasarkan pertimbangan baik dan buruk ketika menghadapi pilihan-pilihan inilah yang disebut “phronesis” (kebijaksanaan praktis).Orang yang mempunyai phronesis mengerti bagaimana harus bertindak secara tepat.

Menurut Aristoteles, phonesis tidak bisa diajarkan sebagaimana juga etika tidak bisa diajarkan, tapi bisa dikembangkan atau dilatih dengan cara dibiasakan.Phronesis tumbuh dan berkembangan dari pengalaman dan kebiasaan bertindak etis. Semakin mantap seseorang bertindak etis, semakin kuat pula kemampuannya untuk bertindak menurut pengertian yang tepat; sama dengan orang yang semakin melatih jiwanya akan semakian peka perasaannya.

Tanggapan:

Konsep etika Aristoteles ini, dimana aktualisasi potensi tidak hanya dilakukan di dunia Idea, tetapi harus juga dalam kehidupan praksis, dalam kehidupan bermasyarakat, mendorong manusia untuk bertindak sosial. Manusia bisa dinilai hidup secara baik jika berpartisipasi dalam kehidupan negara dan tidak lepas dari norma-norma serta nilai-nilai masyarakat. Inilah sumbangan utama etika Aristoteles.

Hanya saja, konsepnya tentang kebahagiaan sebagai tolok ukur baik dan buruk ini, sebagaimana dikatakan Immanuel Kant, tidak menyentuh masalah paling mendasar dari etika itu sendiri; apa yang membuat manusia menjadi baik.Persoalan baik dan buruk harus dilihat pada hakekat tindakan itu sendiri, baik atau buruk, yang oleh Kant disebut “kehendak”,bukan pada tujuannya.

Selain itu, Aristoteles tidak menyediakan tolok ukur bagi nilai moral. Bagaimana kita bisa tahu bahwa itu tindakan etis dan tidak etis? Aristoteles memang menyatakan tentang adanya “phronesis” (kebijaksanaan atau pengertian yang tepat) dalam memilih tindakan. Akan tetapi, bagaimana kita tahu bahwa tindakan yang kita lakukan tersebut tepat atau tidak? Semua tergantung kebiasaan yang dilakukan. Relatif sekali.

Terakhir, dengan adanya konsep bahwa kebaikan berasal dari aktualisasi potensi manusia sendiri berarti Aristoteles telah mengabaikan persoalan yang transenden. Dalam etika Aristoteles, transendensi tidak memainkan peran. Keberadaan Tuhan menjadi terlupakan.

Ini agak berbeda dengan Ibn Maskawaih,meski sama-sama menyatakan kebahagiaan sebagai tujuan etika. Menurut Ibn Maskawaih, kebahagiaan tercapai manakala manusia mampu mentranfer nilai-nilai atau sifat-sifat Tuhan dalam tindakannya sehari-hari. Artinya, tindakan-tindakannya tidak dilakukan sembarangan yang lepas dari dimensi-dimesi ruhani, tetapi justru tersoroti dan tercerminkan oleh nilai-nilai ketuhanan. Artinya lagi, persoalan transenden ikut memainkan peran, tatapi tidak sampai mnghancurkan apalagi menghilangkan kepribadian manusia sendiri sebagaimana dalam Stoa ataupun Aquinas.

FILSAFAT MORAL

Tiga Golongan Sistem Filsafat Moral
  1. HEDONISME
  2. EUDEMONISME
  3. UTILITARISME
A. Hedonisme
  • Hedonis berasal dari bahasa Yunani Hedone yang berarti kesenangan atau kenikmatan.
  • Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya 1x, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalanani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Dari golongan penganut paham ini lah muncul nudisme (gaya hidup bertelanjang). Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epikuris yang menyatakan,"Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena besok engkau akan mati."

  • Ide mendasar dibalik makna hedonis mengajarkan kepada kita bahwa setiap tindakan yang baik, bisa diukur pada seberapa banyak kesenangan dan seberapa kecil penderitaan yang bisa diproduksi. Dalam koridor teoretis, hedonisme pun bertalian dengan sistem filsafat etika yang lainnya seperti utilitarianisme, egoisme dan permisifisme. Dalam terma singkatnya, seorang hedonis akan mengarahkan segala usahanya untuk memaksimalkan ‘rasio’ ini (pleasure over pain). Beberapa abad setelah Epicurus, datang John Stuart Mill (1806-1873) seorang filosof utilitarianisme berkebangsaan Inggris dan Jeremy Bentham (1748-1832), seorang filosof Inggris, yang juga pendiri University College London (UCL), keduanya menetapkan beberapa prinsip fundamental hedonisme berdasarkan teori etika utilitarianisme (paham yang mengatakan bahwa manusia dalam tindakannya selalu mencari untung dan manfaat). Menurut mereka, nilai-nilai utilitarianisme merupakan sebuah pijakan dasar bagi berdirinya nilai-nilai filsafat hedonisme dalam seluruh tindakan yang mengarah kepada proses pencapaian kebahagiaan yang paling besar bagi seluruh manusia. Meskipun konsekwen dengan pencarian kebahagiaan atau kesenangan, ada sedikit perbedaan pandangan nilai-nilai hedonistik antara Bentham dengan Mill yang berkaitan dengan ekspostulat (gagasan) mengenai prinsip-prinsip tentang ‘manfaat’ itu sendiri. Sedikitnya ada dua aliran pemikiran mengenai hedonisme:
    1. Aliran pertama, yang dipromotori oleh Jeremy Bentham, lebih meyakini pendekatan kuantitatif. Bentham meyakini bahwa nilai-nilai mendasar tentang sebuah kesenangan bisa dimengerti secara kuantitatif. Pada dasarnya, dia percaya bahwa nilai-nilai kesenangan bisa dipacu oleh kesenangan lain yang dipengaruhi oleh durasi waktu (intensitas). Jadi, bukan hanya jumlah kesenangan, intensitas dan seberapa lama kesenangan tersebut bisa dinikmati, juga bisa mempengaruhi ‘jumlah’.
    2. Aliran yang kedua, vis a vis kelompok pertama, yang diwakili oleh John Stuart Mill, yang menganjurkan pendekatan kualitatif. Mill lebih meyakini adanya perbedaan level kesenangan, yang mana kualitas kesenangan tertingi, lebih baik dari kualitas kesenangan yang lebih rendah. Mill juga berpendapat bahwa, makhluk rendahan (simpler beings) semisal babi, punya jalan termudah untuk memperoleh kesenangan yang sederhana (simpler pleasure); selama mereka (simpler beings, Pen) tidak disibukkan oleh segmen kehidupan yang lain, mereka bisa dengan mudah menuruti kesenangan mereka tersebut.
    Sedangkan makhluk yang lebih kompleks (elaborate beings), terbentur predisposisi (kecenderungan) untuk memusatkan perhatiannya kepada persoalan yang lain (dalam kehidupan), oleh karena itu, memperoleh waktu yang sedikit untuk kesenangan. Maka dengan demikian, mereka (elaborate beings, Pen) akan menemukan kesulitan untuk menikmati ‘kesenangan yang sederhana’ yang dilakukan oleh simpler beings, dengan jalan dan cara yang sama.
    Namun permasalahan yang muncul adalah: pertama, pada umumnya, setiap kesenangan tidak memiliki kesamaan sifat atau ciri, meskipun fakta mengatakan bahwa ‘kesenangan’ tersebut bisa dilihat sebagai ’sesuatu yang menyenangkan’ (pleasurable). Lagipula, standar yang berlaku untuk sesuatu yang dikatakan ‘menyenangkan’ bermacam-macam. Semisal sadisme, yang sebagian orang menganggap sebagai sebuah kesenangan dan hobi. Sejatinya, pendekatan kuantitatif dan kualitatif harus diposisikan dan dipandang sebagai dua pendekatan yang komplementer.
    Kedua, seseorang akan merasa keberatan, jika ketika seseorang yang lain mendapatkan kesenangan mungkin yang lain akan merasakan penderitaan, yang mengakibatkan terjadinya kontradiksi mengenai tindakan moral. Hal ini menjadi kontradiksi jika kita melihat dari perspektif absolutisitas moral. Sementara dari sudut pandang relativitas moral, tidak akan pernah terjadi kontradiksi. Dua persoalan inilah, yang dicap oleh filosof Henry Sidgwick dalam bukunya ‘The Method of Ethics’ (1963) sebagai ‘paradox of hedonism’.
    Banyak yang melihat, hedonisme tidak punya kaitan dengan egoisme. Tapi anehnya, utilitarianismenya John Stuart Mill terkadang diklasifikasikan sebagai sebuah bentuk hedonisme, yang mana klasifikasi tersebut juga membenarkan tindakan moral melalui kontribusi berikutnya kepada manfaat tertinggi dan kebahagiaan. Hal ini juga –bisa dikatakan- sama dengan hedonisme altruistik (altruisme; paham mendahulukan orang lain). Mengingat, diantara doktrin-doktrin hedonistik ada yang mengajarkan untuk melakukan apa saja yang bisa membuat kebahagiaan pribadi seseorang (via usaha yang panjang), Mill juga menyetujui tindakan-tindakan yang dapat membuat orang-orang bahagia. Dengan arti lain, menyandingkan individualisme dengan kolektifisme.
    Adalah benar bahwa, Epicurus merekomendasikan kepada kita untuk mengejar kesenangan dan kebahagiaan, namun harus diingat, dia tidak pernah mengajarkan bahwa kita harus menjalani kehidupan dengan mementingkan diri sendiri (selfish) yang berdampak kepada terhalangnya kesenangan dan kebahagiaan untuk orang lain. Allah mengajarkan kepada kita bahwa, kesenangan tidak diukur oleh akal dan karakter kesenangan itu sendiri, melainkan ditetapkan oleh-Nya. 

B. Eudemonisme
  •  Kata ‘eudemonisme’ berasal dari kata yunani ‘eudaimonia’ yang secara harafiah berarti : mempunyai roh pengawal (demon) yang baik, artinya mujur dan beruntung.
  • Eudemonisme adalah menggambarkan perasaan senang terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan, sebagai akibat pengetahuan mengenai penyelarasan diri. Orang yang telah mencapai tingkatan ‘eudemonia’ mempunyai keinsyafan akan kepuasan yang sempurna tidak hanya jasmani, melainkan juga secara rohani. Pemahaman ini terjelma dalam sistem2 yang telah lanjut perkembangannya, namun juga sebagai keyakinan bahwa manusia hidup di dunia untuk berbahagia. Mereka mencari tujuan hidup pada keadaan2 yang terdapat dalam dirinya sendiri, yang tidak ia kuasai atau hanya sebagian kecil yang dikuasainya.
C. Utilitarisme
  • Utilitarianisme berasal dari kata Latin, utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat tersebut harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi, utilitarianisme berdasar pada hasil atau konsekuensi dari suatu kegiatan atau tindakan yang dilakukan (a consequently approach).
  • Prinsif Utilitarianisme adalah manusia wajib berusaha untuk selalu menghasilkan kelebihan akibat-akibat baik (dalam arti berguna) yang sebesar-besarnya terhadap akibat-akibat buruk (dalam arti tak berguna) apabila kita bertindak. Singkatnya: usahakanlah agar tindakanmu menghasilkan “the greatest happiness for the greatest number”. Jadi di atara semua tindakan yang dapat kita ambil yang betul adalah tindakan yang yang—sejauh dapat kita perhitungkan—akan paling memajukan kepentingan semua orang yang dapat kita pengaruhi. Utilitarisme menuntut perhatian terhadap semua kepentingan semua orang yang terpengaruh akibat tindakan itu, termasuk pelau itu sendiri.
  • Menurut Weiss terdapat tiga konsep dasar mengenai utilitarianisme sebagai berikut :
    1. Suatu tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan yang secara moral adalah benar jika tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan itu membuat halterbaik untuk banyak orang yang dipengaruhi oleh tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan.
    2. Suatu tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan yang secara moral adalah benar jika terdapat manfaat terbaik atas biaya – biaya yang dikeluarkan, dibandingkan manfaat dari semua kemungkinan yang pilihan yang dipertimbangkan.
    3. Suatu tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan yang secara moral adalah benar jika tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan itu secara tepat mampu memberi manfaat, baik langsung ataupun tidak langsung, untuk masa depan pada setiap orang dan jika manfaat tersebut lebih besar daripada biaya dan manfaat alternatif yang ada.

Etika Hedonis dalam Bingkai Kekuasaan

Dunia politik kekuasaan itu ibarat setangkai kembang bermadu, yang memikat banyak kumbang dan kupu-kupu. Begitu banyak orang dari berbagai profesi tergoda untuk menikmati manisnya madu kekuasaan yang terbalut dalam materi itu. Kita pun digugat tanya, mengapa semua itu bisa terjadi, dan mengapa di era modern ini orang tidak jera-jeranya mencari kepuasan hidup duniawi yang oleh Erich Fromm, dikatakan tidak akan pernah mencapai titik jenuh?

Pertanyaan tersebut menjadi mudah dijawab jika dikerling dari etika hedonis ala para filosof modern dan individualis seperti Albert Camus, JP Sartre, Heidegger, John Lock, John Stuart Mill, dan Nietzsche. Khususnya bagi Friederick Willhem Nietzsche, hidup adalah sumber kelezatan dan kenikmatan. Dan kekuasaan dengan harta melimpah, adalah puncak dari kenikmatan hidup. Karena itu, setiap orang di segala zaman berusaha untuk  merenkuh kenikmatan yang terbungkus dalam kelambu kekuasaan. Itu terlihat dari buku The Birth of Tragedy di mana sang filosof eksitensialis dan individualis memaklumkan tentang, “Allah sudah mati dan nikmatilah hidup”. Suatu adagium tersohor yang membuat dirinya ditahbiskan menjadi seorang etikus hedonis.

 Artinya, dari sisi hedonisme, tujuan dari hidup manusia adalah menggapai kesenangan dan kemikmatan badani. Suatu aliran filsafat yang mengagungkan kenikmatan hidup yang sebenarnya berangkat dari pemikiran filsafat sebelumnya. Lihat, misalnya filosof Aristippos dari Kyrene, seorang murid Socrates, yang menegaskan bahwa yang sungguh baik bagi manusia hanyalah kesenangan dan kenikmatan. Jika ia berhasil meraih kesenangan, ia tidak akan mencari sesuatu yang lain lagi. Ia hanya berambisi mencari kesenangan dan kenikmatan.

Dengan demikian, hedonisme adalah suatu aliran filsafat yang mengajarkan bahwa tujuan akhir hidup manusia adalah kenikmatan duniawi. Sehingga, bagi kaum hedonis, perbuatan yang baik adalah apa yang memuaskan rasa nikmat yang bersifat badani. Kemudian, corak filsafat Nietzsche pun diberi nama filsafat individualisme, vitalisme dan voluntarisme serta eksistensialisme yang saling berpengaruh dengan para filosof abad ke-20 seperti Jean Paul Sartre, Albert Camus, Jaspers, Heidegger, Loewith, Hartmann, Scheler, John Lock, John Stuar Mill.

Selain Aristippos, ada seorang filosof klasik lain yang pemikirannya perlu dimasukkan dalam kelompok etikus hedonis adalah Epikuros yang mengatakan bahwa manusia selalu dituntun untuk mencari kesenangan dan kenikmatan hidup. Tubuh manusia merupakan asas dan akar segala kesenangan, sehingga kesenangan badani adalah kesenangan yang paling hakiki.

Filsuf abad ke-20 yang dipengaruhi aliran filsafat hehonisme adalah filosof Inggris John Lock (1632-1704), yang pemikirannya seperti juga Nietzche, soal kenikmatan dalam materi dan kekuasaan. Lock berpendapat bahwa yang kita sebut baik adalah apa yang menyebabkan kesenangan, sebaliknya kita namakan jahat karena mendatangkan ketidaksenangan. Bahkan, dalam kehidupan modern, secara implisit hedonisme kian mencapai bentuknya dalam masyarakat yang sangat konsumeristis, yang memang di dalamnya hedonisme menggebu dalam pemenuhan daya kemampuan untuk meraih kenikmatan yang terkandung dalam materi, kekuasaan dan seks.

Semua kenikmatan yang dikejar manusia itu termaktub dalam hidup inderawi, intelektual, dan spiritual. Kenikmatan inderawi terpenuhi karena dorongan pancaindera terpenuhi. Kenikmatan intelektual terpenuhi tatkala kita memperoleh pemahaman baru. Sedangkan, kenikmatan spiritual atau religius tatkala sanggup menghayati dan mengamalkan nilai-nilai religius. Dan nilai kenikmatan religius inilah yang jauh melampaui kenikmatan-kenikmatan lain. Itu ditegaskan oleh penganut Utilitarianisme (1864) yang dikemas John Stuart Mill.

Menurut Mill, kesenangan itu ada bermacam-macam, tetapi yang paling menonjol adalah kesenangan atau kenikmatan jasmani dan rohani. Bagi manusia, kesenangan atau kenikmatan yang lebih luhur dan bermutu tinggi adalah kesenangan religius. Tetapi sayang dalam era konsumeristik – hedonistik, kenikmatan religius kerap terpinggirkan oleh kesenangan dan kenikmatan badani. Atau, kenikmatan religius terperangkap dalam kesenangan badani. Manusia yang disergap materialisme, konsumerisme tersungkur tidak berdaya dan terkubur dalam kenikmatan-kenikmatan yang bernilai rendah, bersifat temporal, artifisial, sesaat, dan selayang pandang, seperti kenikmatan dalam menumpukkan harta, kenikmatan dalam memburu kepuasan seks dan kenikmatan dalam meraih kekuasaan demi kemuliaan diri.

Manusia modern umumnya sudah begitu jauh jatuh terjerembab dalam kubur konsumerisme dan terlena dalam kenikmatan-kenikmatan semu, sehingga membuat dirinya mudah stress, putus asa, bahkan teralienasi dari kehidupannya, seperti pada penguasa atau orang-orang kaya yang kerap juga mengalami keterasingan diri. Mengapa? Karena kenikmatan telah dijadikan tujuan akhir. Perbuatan mereka dinilai baik dan berguna sejauh ia membawa rasa nikmat. Padahal, kenikmatan badani bukanlah tujuan akhir hidup ini. Tujuan akhir dari setiap aktivitas manusia adalah pencapaian kesejatian dirinya sebagai makhluk moral dan religius.

Kesejatian manusia yang paling mutlak ditemukan dalam pencapaian kenikmatan religius. Tetapi, itu sulit digapainya, sehingga membuatnya selalu merasa tidak puas dengan apa yang dimiliki, apa yang telah dia raih di dunia seperti materi dan kekuasaan. Materi dan kekuasaan lalu sangat diagungkan dan dijadikan sebagai sosok-sosok berhala baru, yang selalu dikejar tanpa rasa malu.

Ironisnya, kenikmatan dan kelezatan hidup dalam meraih kekuasaan ini sudah merasuk dalam benak dan hati setiap politisi, sehingga mereka selalu tidak puas untuk berjuang meraih dan mempertahankannya. Karena itu tidak heran juga jika lembaga parlemen, mahkamah agung, dan eksekutif telah berubah menjadi ground-breeding bagi praktek korupsi dan arena perebutan kepuasan kekuasaan termasuk penumpukkan harta..

Itu pula membenarkan adagium klasik filosof Thomas Hobbes, bahwa motif dasar hidup manusia adalah hasrat untuk menguasai, menikmati keinginan-keinginan dan menghindari kematian. Manusia sejak kelahirannya, secara alamiah, selalu memperebutkan segala sesuatu yang diinginkannya, dan jika dapat, mereka ingin agar seluruh dunia takut dan takluk tak berdaya di hadapannya.

Semua itu, kemudian seperti dilengkapi oleh sang etikus JJ Rousseau, bahwa hasrat manusia itu selalu untuk berkuasa, karena ia bersifat hedonistik, tidak bisa dijinakkan oleh kekuatan apa pun, termasuk politik dengan sistem apa pun. Politikus malah makin berjaya dalam meraih dan merengkuh kekuasaan yang nikmat serta keuntungan-keuntungan ekonomis dari monopoli sumber-sumber vital kehidupan kolektif. Dan naluri merengkuh kekuasaan itu tidak bisa dijinakkan oleh kekuatan apa pun karena ia memiliki pertalian dengan kepentingan dan hawa nafsu.

Oleh: Thomas Koten