Selasa, 15 Desember 2009

Etika Hedonis dalam Bingkai Kekuasaan

Dunia politik kekuasaan itu ibarat setangkai kembang bermadu, yang memikat banyak kumbang dan kupu-kupu. Begitu banyak orang dari berbagai profesi tergoda untuk menikmati manisnya madu kekuasaan yang terbalut dalam materi itu. Kita pun digugat tanya, mengapa semua itu bisa terjadi, dan mengapa di era modern ini orang tidak jera-jeranya mencari kepuasan hidup duniawi yang oleh Erich Fromm, dikatakan tidak akan pernah mencapai titik jenuh?

Pertanyaan tersebut menjadi mudah dijawab jika dikerling dari etika hedonis ala para filosof modern dan individualis seperti Albert Camus, JP Sartre, Heidegger, John Lock, John Stuart Mill, dan Nietzsche. Khususnya bagi Friederick Willhem Nietzsche, hidup adalah sumber kelezatan dan kenikmatan. Dan kekuasaan dengan harta melimpah, adalah puncak dari kenikmatan hidup. Karena itu, setiap orang di segala zaman berusaha untuk  merenkuh kenikmatan yang terbungkus dalam kelambu kekuasaan. Itu terlihat dari buku The Birth of Tragedy di mana sang filosof eksitensialis dan individualis memaklumkan tentang, “Allah sudah mati dan nikmatilah hidup”. Suatu adagium tersohor yang membuat dirinya ditahbiskan menjadi seorang etikus hedonis.

 Artinya, dari sisi hedonisme, tujuan dari hidup manusia adalah menggapai kesenangan dan kemikmatan badani. Suatu aliran filsafat yang mengagungkan kenikmatan hidup yang sebenarnya berangkat dari pemikiran filsafat sebelumnya. Lihat, misalnya filosof Aristippos dari Kyrene, seorang murid Socrates, yang menegaskan bahwa yang sungguh baik bagi manusia hanyalah kesenangan dan kenikmatan. Jika ia berhasil meraih kesenangan, ia tidak akan mencari sesuatu yang lain lagi. Ia hanya berambisi mencari kesenangan dan kenikmatan.

Dengan demikian, hedonisme adalah suatu aliran filsafat yang mengajarkan bahwa tujuan akhir hidup manusia adalah kenikmatan duniawi. Sehingga, bagi kaum hedonis, perbuatan yang baik adalah apa yang memuaskan rasa nikmat yang bersifat badani. Kemudian, corak filsafat Nietzsche pun diberi nama filsafat individualisme, vitalisme dan voluntarisme serta eksistensialisme yang saling berpengaruh dengan para filosof abad ke-20 seperti Jean Paul Sartre, Albert Camus, Jaspers, Heidegger, Loewith, Hartmann, Scheler, John Lock, John Stuar Mill.

Selain Aristippos, ada seorang filosof klasik lain yang pemikirannya perlu dimasukkan dalam kelompok etikus hedonis adalah Epikuros yang mengatakan bahwa manusia selalu dituntun untuk mencari kesenangan dan kenikmatan hidup. Tubuh manusia merupakan asas dan akar segala kesenangan, sehingga kesenangan badani adalah kesenangan yang paling hakiki.

Filsuf abad ke-20 yang dipengaruhi aliran filsafat hehonisme adalah filosof Inggris John Lock (1632-1704), yang pemikirannya seperti juga Nietzche, soal kenikmatan dalam materi dan kekuasaan. Lock berpendapat bahwa yang kita sebut baik adalah apa yang menyebabkan kesenangan, sebaliknya kita namakan jahat karena mendatangkan ketidaksenangan. Bahkan, dalam kehidupan modern, secara implisit hedonisme kian mencapai bentuknya dalam masyarakat yang sangat konsumeristis, yang memang di dalamnya hedonisme menggebu dalam pemenuhan daya kemampuan untuk meraih kenikmatan yang terkandung dalam materi, kekuasaan dan seks.

Semua kenikmatan yang dikejar manusia itu termaktub dalam hidup inderawi, intelektual, dan spiritual. Kenikmatan inderawi terpenuhi karena dorongan pancaindera terpenuhi. Kenikmatan intelektual terpenuhi tatkala kita memperoleh pemahaman baru. Sedangkan, kenikmatan spiritual atau religius tatkala sanggup menghayati dan mengamalkan nilai-nilai religius. Dan nilai kenikmatan religius inilah yang jauh melampaui kenikmatan-kenikmatan lain. Itu ditegaskan oleh penganut Utilitarianisme (1864) yang dikemas John Stuart Mill.

Menurut Mill, kesenangan itu ada bermacam-macam, tetapi yang paling menonjol adalah kesenangan atau kenikmatan jasmani dan rohani. Bagi manusia, kesenangan atau kenikmatan yang lebih luhur dan bermutu tinggi adalah kesenangan religius. Tetapi sayang dalam era konsumeristik – hedonistik, kenikmatan religius kerap terpinggirkan oleh kesenangan dan kenikmatan badani. Atau, kenikmatan religius terperangkap dalam kesenangan badani. Manusia yang disergap materialisme, konsumerisme tersungkur tidak berdaya dan terkubur dalam kenikmatan-kenikmatan yang bernilai rendah, bersifat temporal, artifisial, sesaat, dan selayang pandang, seperti kenikmatan dalam menumpukkan harta, kenikmatan dalam memburu kepuasan seks dan kenikmatan dalam meraih kekuasaan demi kemuliaan diri.

Manusia modern umumnya sudah begitu jauh jatuh terjerembab dalam kubur konsumerisme dan terlena dalam kenikmatan-kenikmatan semu, sehingga membuat dirinya mudah stress, putus asa, bahkan teralienasi dari kehidupannya, seperti pada penguasa atau orang-orang kaya yang kerap juga mengalami keterasingan diri. Mengapa? Karena kenikmatan telah dijadikan tujuan akhir. Perbuatan mereka dinilai baik dan berguna sejauh ia membawa rasa nikmat. Padahal, kenikmatan badani bukanlah tujuan akhir hidup ini. Tujuan akhir dari setiap aktivitas manusia adalah pencapaian kesejatian dirinya sebagai makhluk moral dan religius.

Kesejatian manusia yang paling mutlak ditemukan dalam pencapaian kenikmatan religius. Tetapi, itu sulit digapainya, sehingga membuatnya selalu merasa tidak puas dengan apa yang dimiliki, apa yang telah dia raih di dunia seperti materi dan kekuasaan. Materi dan kekuasaan lalu sangat diagungkan dan dijadikan sebagai sosok-sosok berhala baru, yang selalu dikejar tanpa rasa malu.

Ironisnya, kenikmatan dan kelezatan hidup dalam meraih kekuasaan ini sudah merasuk dalam benak dan hati setiap politisi, sehingga mereka selalu tidak puas untuk berjuang meraih dan mempertahankannya. Karena itu tidak heran juga jika lembaga parlemen, mahkamah agung, dan eksekutif telah berubah menjadi ground-breeding bagi praktek korupsi dan arena perebutan kepuasan kekuasaan termasuk penumpukkan harta..

Itu pula membenarkan adagium klasik filosof Thomas Hobbes, bahwa motif dasar hidup manusia adalah hasrat untuk menguasai, menikmati keinginan-keinginan dan menghindari kematian. Manusia sejak kelahirannya, secara alamiah, selalu memperebutkan segala sesuatu yang diinginkannya, dan jika dapat, mereka ingin agar seluruh dunia takut dan takluk tak berdaya di hadapannya.

Semua itu, kemudian seperti dilengkapi oleh sang etikus JJ Rousseau, bahwa hasrat manusia itu selalu untuk berkuasa, karena ia bersifat hedonistik, tidak bisa dijinakkan oleh kekuatan apa pun, termasuk politik dengan sistem apa pun. Politikus malah makin berjaya dalam meraih dan merengkuh kekuasaan yang nikmat serta keuntungan-keuntungan ekonomis dari monopoli sumber-sumber vital kehidupan kolektif. Dan naluri merengkuh kekuasaan itu tidak bisa dijinakkan oleh kekuatan apa pun karena ia memiliki pertalian dengan kepentingan dan hawa nafsu.

Oleh: Thomas Koten

Tidak ada komentar:

Posting Komentar