Selasa, 15 Desember 2009

FILSAFAT MORAL

Tiga Golongan Sistem Filsafat Moral
  1. HEDONISME
  2. EUDEMONISME
  3. UTILITARISME
A. Hedonisme
  • Hedonis berasal dari bahasa Yunani Hedone yang berarti kesenangan atau kenikmatan.
  • Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya 1x, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalanani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Dari golongan penganut paham ini lah muncul nudisme (gaya hidup bertelanjang). Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epikuris yang menyatakan,"Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena besok engkau akan mati."

  • Ide mendasar dibalik makna hedonis mengajarkan kepada kita bahwa setiap tindakan yang baik, bisa diukur pada seberapa banyak kesenangan dan seberapa kecil penderitaan yang bisa diproduksi. Dalam koridor teoretis, hedonisme pun bertalian dengan sistem filsafat etika yang lainnya seperti utilitarianisme, egoisme dan permisifisme. Dalam terma singkatnya, seorang hedonis akan mengarahkan segala usahanya untuk memaksimalkan ‘rasio’ ini (pleasure over pain). Beberapa abad setelah Epicurus, datang John Stuart Mill (1806-1873) seorang filosof utilitarianisme berkebangsaan Inggris dan Jeremy Bentham (1748-1832), seorang filosof Inggris, yang juga pendiri University College London (UCL), keduanya menetapkan beberapa prinsip fundamental hedonisme berdasarkan teori etika utilitarianisme (paham yang mengatakan bahwa manusia dalam tindakannya selalu mencari untung dan manfaat). Menurut mereka, nilai-nilai utilitarianisme merupakan sebuah pijakan dasar bagi berdirinya nilai-nilai filsafat hedonisme dalam seluruh tindakan yang mengarah kepada proses pencapaian kebahagiaan yang paling besar bagi seluruh manusia. Meskipun konsekwen dengan pencarian kebahagiaan atau kesenangan, ada sedikit perbedaan pandangan nilai-nilai hedonistik antara Bentham dengan Mill yang berkaitan dengan ekspostulat (gagasan) mengenai prinsip-prinsip tentang ‘manfaat’ itu sendiri. Sedikitnya ada dua aliran pemikiran mengenai hedonisme:
    1. Aliran pertama, yang dipromotori oleh Jeremy Bentham, lebih meyakini pendekatan kuantitatif. Bentham meyakini bahwa nilai-nilai mendasar tentang sebuah kesenangan bisa dimengerti secara kuantitatif. Pada dasarnya, dia percaya bahwa nilai-nilai kesenangan bisa dipacu oleh kesenangan lain yang dipengaruhi oleh durasi waktu (intensitas). Jadi, bukan hanya jumlah kesenangan, intensitas dan seberapa lama kesenangan tersebut bisa dinikmati, juga bisa mempengaruhi ‘jumlah’.
    2. Aliran yang kedua, vis a vis kelompok pertama, yang diwakili oleh John Stuart Mill, yang menganjurkan pendekatan kualitatif. Mill lebih meyakini adanya perbedaan level kesenangan, yang mana kualitas kesenangan tertingi, lebih baik dari kualitas kesenangan yang lebih rendah. Mill juga berpendapat bahwa, makhluk rendahan (simpler beings) semisal babi, punya jalan termudah untuk memperoleh kesenangan yang sederhana (simpler pleasure); selama mereka (simpler beings, Pen) tidak disibukkan oleh segmen kehidupan yang lain, mereka bisa dengan mudah menuruti kesenangan mereka tersebut.
    Sedangkan makhluk yang lebih kompleks (elaborate beings), terbentur predisposisi (kecenderungan) untuk memusatkan perhatiannya kepada persoalan yang lain (dalam kehidupan), oleh karena itu, memperoleh waktu yang sedikit untuk kesenangan. Maka dengan demikian, mereka (elaborate beings, Pen) akan menemukan kesulitan untuk menikmati ‘kesenangan yang sederhana’ yang dilakukan oleh simpler beings, dengan jalan dan cara yang sama.
    Namun permasalahan yang muncul adalah: pertama, pada umumnya, setiap kesenangan tidak memiliki kesamaan sifat atau ciri, meskipun fakta mengatakan bahwa ‘kesenangan’ tersebut bisa dilihat sebagai ’sesuatu yang menyenangkan’ (pleasurable). Lagipula, standar yang berlaku untuk sesuatu yang dikatakan ‘menyenangkan’ bermacam-macam. Semisal sadisme, yang sebagian orang menganggap sebagai sebuah kesenangan dan hobi. Sejatinya, pendekatan kuantitatif dan kualitatif harus diposisikan dan dipandang sebagai dua pendekatan yang komplementer.
    Kedua, seseorang akan merasa keberatan, jika ketika seseorang yang lain mendapatkan kesenangan mungkin yang lain akan merasakan penderitaan, yang mengakibatkan terjadinya kontradiksi mengenai tindakan moral. Hal ini menjadi kontradiksi jika kita melihat dari perspektif absolutisitas moral. Sementara dari sudut pandang relativitas moral, tidak akan pernah terjadi kontradiksi. Dua persoalan inilah, yang dicap oleh filosof Henry Sidgwick dalam bukunya ‘The Method of Ethics’ (1963) sebagai ‘paradox of hedonism’.
    Banyak yang melihat, hedonisme tidak punya kaitan dengan egoisme. Tapi anehnya, utilitarianismenya John Stuart Mill terkadang diklasifikasikan sebagai sebuah bentuk hedonisme, yang mana klasifikasi tersebut juga membenarkan tindakan moral melalui kontribusi berikutnya kepada manfaat tertinggi dan kebahagiaan. Hal ini juga –bisa dikatakan- sama dengan hedonisme altruistik (altruisme; paham mendahulukan orang lain). Mengingat, diantara doktrin-doktrin hedonistik ada yang mengajarkan untuk melakukan apa saja yang bisa membuat kebahagiaan pribadi seseorang (via usaha yang panjang), Mill juga menyetujui tindakan-tindakan yang dapat membuat orang-orang bahagia. Dengan arti lain, menyandingkan individualisme dengan kolektifisme.
    Adalah benar bahwa, Epicurus merekomendasikan kepada kita untuk mengejar kesenangan dan kebahagiaan, namun harus diingat, dia tidak pernah mengajarkan bahwa kita harus menjalani kehidupan dengan mementingkan diri sendiri (selfish) yang berdampak kepada terhalangnya kesenangan dan kebahagiaan untuk orang lain. Allah mengajarkan kepada kita bahwa, kesenangan tidak diukur oleh akal dan karakter kesenangan itu sendiri, melainkan ditetapkan oleh-Nya. 

B. Eudemonisme
  •  Kata ‘eudemonisme’ berasal dari kata yunani ‘eudaimonia’ yang secara harafiah berarti : mempunyai roh pengawal (demon) yang baik, artinya mujur dan beruntung.
  • Eudemonisme adalah menggambarkan perasaan senang terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan, sebagai akibat pengetahuan mengenai penyelarasan diri. Orang yang telah mencapai tingkatan ‘eudemonia’ mempunyai keinsyafan akan kepuasan yang sempurna tidak hanya jasmani, melainkan juga secara rohani. Pemahaman ini terjelma dalam sistem2 yang telah lanjut perkembangannya, namun juga sebagai keyakinan bahwa manusia hidup di dunia untuk berbahagia. Mereka mencari tujuan hidup pada keadaan2 yang terdapat dalam dirinya sendiri, yang tidak ia kuasai atau hanya sebagian kecil yang dikuasainya.
C. Utilitarisme
  • Utilitarianisme berasal dari kata Latin, utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat tersebut harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi, utilitarianisme berdasar pada hasil atau konsekuensi dari suatu kegiatan atau tindakan yang dilakukan (a consequently approach).
  • Prinsif Utilitarianisme adalah manusia wajib berusaha untuk selalu menghasilkan kelebihan akibat-akibat baik (dalam arti berguna) yang sebesar-besarnya terhadap akibat-akibat buruk (dalam arti tak berguna) apabila kita bertindak. Singkatnya: usahakanlah agar tindakanmu menghasilkan “the greatest happiness for the greatest number”. Jadi di atara semua tindakan yang dapat kita ambil yang betul adalah tindakan yang yang—sejauh dapat kita perhitungkan—akan paling memajukan kepentingan semua orang yang dapat kita pengaruhi. Utilitarisme menuntut perhatian terhadap semua kepentingan semua orang yang terpengaruh akibat tindakan itu, termasuk pelau itu sendiri.
  • Menurut Weiss terdapat tiga konsep dasar mengenai utilitarianisme sebagai berikut :
    1. Suatu tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan yang secara moral adalah benar jika tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan itu membuat halterbaik untuk banyak orang yang dipengaruhi oleh tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan.
    2. Suatu tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan yang secara moral adalah benar jika terdapat manfaat terbaik atas biaya – biaya yang dikeluarkan, dibandingkan manfaat dari semua kemungkinan yang pilihan yang dipertimbangkan.
    3. Suatu tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan yang secara moral adalah benar jika tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan itu secara tepat mampu memberi manfaat, baik langsung ataupun tidak langsung, untuk masa depan pada setiap orang dan jika manfaat tersebut lebih besar daripada biaya dan manfaat alternatif yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar