Senin, 14 Desember 2009

Antara Reuni dan Hati


Bagaimana cara bersembunyi dari sahabat-sahabat masa lalu? Kedatangan mereka rasanya lebih pahit ketimabang perpisahan kita di masa lalu yang terangsur-angsur bisa ku relakan,walao sukar ku ikhlaskan dan lekas terlupakan begitu datang kawan-kawan baru.Andai kau tahu betapa kepahitan yang mereka bawa sebagai oleh-olehtelah membuat aku semakin tidak sempurna sebagai laki-laki.Nyaris dari setiap kedatangan mereka yang tak terduga itu, mereka seakan tia da bakal puas sebelum tuntas tanya-tanya: Keanapa kau belom juga maenikah, Kawan? Barangkali ada yang salah dengan dirimu?Atau kau sedang mengidap suatu penyakit yang membuatmu tidak mampu mencintai seorang cewe lagi? Ah, jangan-jangan mereka memang sedang bersekutu untuk mempecundangi aku?

Tanya-tanya pahit itu bagai lagu wajib yang selalu mereka nyanyikan disetiap pertemuan.Mungkin bagi mereka, itu sebagai hiburan dalam sebuah pertemuan yang belum tentu terjadi disetiap lima taon sekali, tapi bagiku rasanya sangat meremukan. Dalam seda-gurau dan tawa-girang mereka, aku merasa terpuruk kedalam sebuah liang yang begitu asing di hadapan kawan sendiri. Mereka memperlakukan aku bagai seorang terdakwa yang terus menerus disalahkan danpa boleh membela diri, hanya karena aku belom berkeluarga, sementara mereka begitu subur, karena itu telah berkembang-biak,  beranak-pinak, seperti kucing.

Kau tentu masih ingat Wawan bukan? Sahabat karibku yang bermata sipit, itu sebabnya kerap ia mengaku keturunnan Cina. Yang dulu Kerap menemaniku jalan sama kamu setiap pulang sekolah. Dan bilang kalau kita pasangan serasi karena memilki wajah yang mirip (ato: kata sopir angkot juga).Karna di dalam angkotlah aku baru tau kalo kamu memendam perasaan yang sama dengan apa yang aku rasakan. Kau kliatan malu saat ku minta kertas kecil yang berisi catatan isi hatimu padaku. Padahal itu tidak sengaja aku liat kertas merah bermotif garis lengkung yang munkin kamu buat dari ngeblat tepi penggaris. Kau ulurkan kertas itu tanpa kata-kata, hanya warna merah pipimu yang aku lihat. Sebelum jatuh kepelukanmu aku tidak pernah tau bagaimana rasanya berhubungan akrab perempuan, hingga sekali dua kali aku dibilang, lugu, kuper, sok jaim, sombong. Sebenarnya bukan tidak ada perempuan perempuan yang sudi menghampiriku. Seperti yang kau tahu sahabat karibmu Icha itu adalah perempuan yang kesekian kalinya kutolak cintanya, soal ini bukan hanya kita yang tau bukan? Itu sebabnya dia memintamu menjadi pesuruhnya, menagntarkan titipan salam cinta dan rindunya untukku. Meski telah gagal merebut hatiku, setidaknya dia msih berkesempatan titip salam untukku. Karna dia tidak tau klo sebenarnya kita telah main hati.

Entah kanapa pada suatu hari ketika kamu disuruh menyampaikan salam cinta Icha, hatiku seperti terpanggil dan tak bisa menahan perasaan untuk memintamu sebagai bagian yang paling penting dalam hidupku dan kau menjawab: “ jangan kau membuatku GR”. Tentulah ada sesuatu yang membuatku berani mengungkapkan semua perasaan yang aku pendam.

Hubungan kita berlanjutdan terus bertahan sampai aq harus pergi karna aku mendengar kau telah jalan dengan sahabatku sendiri hati ini pahit karna aku mendengar dari dia sendiri mungkin dia tidak tau ato aku yang masih sangat mencintaimu. Walo hati ini ingin berteriak karna merasa tersingkir untuk selamanya, tapi aku masih bisa menahan diri. Kini Wawan sudah punya seorang anak perempuan. Sebagaimana kedatangan kawan-kawan yang laen. Selepas kedatangan Wawan, aku ingin menghindar dari kedatangan kawan-kawan masa lalu. Ia begitu bergairah dan sumringah menceritakan perangai anak-anaknya di hadapanku (lelaki yang sudah sepuluh taon mendambakan hidup berkeluarga). Meski hidup Wawan tak lebih baek dari hidupku, dari lagak bicaranya ia merasa kelelakiannya telah teruji dan terbukti dengan kehadiran anaknya yang lucu itu.Sementara aku meski sudah tercukupi, hidupku dikepung sepi yang tak terpemanai, sebab aku belom berkeluaraga, bahkan setelah sepuluh taon kita berpisah.
“Besar kemungkinan kamu ada kelainan, Kawan?”

Sejujurnya, aku daripada mendengar tuduhan itu lebih baek Ia menampar mukaku, ato menentang rusukku dari belakang.

“Menurut aku tidak salahnya kamu mencari, kelak di masa tua tidak kesepian.”

Sampe hati sahabatku mengatakan aku ada kelainan. Seolah-olah aku telah berbuat dosa yang tiada bakal terampuni hingga aku di kutuk dengan kesendirian yang membuat kelelakianku cacat seumur hidup. Dan, yang lebih mengejutkan, Wawan juga, bilang jangan-jangan ketidakmujuranku karena di masa lalu aku telah mengecewakanmu, perempuan yang pernah menjadi bagian paling inti dalam hidupku. Sejak itulah aku tidak menyukai reuni. Begitu tersiar kabar perihal kawan lama yang akan berkunjung ke kotaku, kuupayakan segala cara kusiasati, bermacam-macam alibi guna menggagalkan pertemuan tak bermutu itu. Untuk apa menyambut kedatangan itu bila hanya membuat aku tampak semakin seperti kambing congek mendengar celoteh mereka. Dan semakin berdosa telah mengkihanati dan gagal mempertahankan kamu.

Kini kalaupun masih ada sahabat masa lalu yang kurindukan itu hanya dirimu, Perempuanku! Aku hanya menunggu tapi juga mencarimu terus melacak jejak keberadaanmu. Aku ingin memastikan apakah pengkihanatanku di masa lalu masih menyisakan ngilu di hatimu? Bila iya, hidupku tiada bakal tenteram sebelum mendengar kata maaf darimu. Entah kenapa, aku makin mempercayai ramalan kawan-kawan lama itu bahwa kesendirianku yang telah membuat malu ini benar-benar karma dari perbuatan ingkar janji kepadamu.

Dulu aku pernah berikrar bakal memperjuangkan hubungan kita meski hubungan kita akan menemua jalan terjal. Tapi ternyata keteguhanku hatiku untuk terus mempertahankan kita bahkan lebih tipis dari kulit bawang. Setelah peristiwa itu aku memutuskan untuk hijrah ke kota laen dan terus berpindah-pindah bak seorang musafir yang hanya mengikuti arah angin dan jejak kaki melangkah. Aku tak peduli pada terpiuh-piuh perasanmu karna terbuang sebagai pecundang yang tak tentu pada siapa mesti mengadu. Sejak itu hubungan kita terbelah bagai sebatang ritan yang di erat dua. Aku menjadi pengembara yang hanya bisa mengikuti jejak kakiku, tapi tak mampu meredakan sakitku karena kehilanganmu.

Perempuanku, bagaimana kabarmu? Bagaimana keadaan keluargamu? Sudah berapa anakmu kini? Tentu kau sudah punya anak-anak yang lucu dan kemayu, munkin sesekali bandel hingga kau membuang muka melampiaskan jengkel. Tentu kau sudah berbahagia di sana, bersama suami dan anak-anakmu. Sedang aku, lelakimu, dari waktu kewaktu, semakin karam di lubuk kesendirianku.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar